KPK Meminta Pengusaha Walet Kaltim Untuk Memperbaiki Fasilitas Ternaknya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendorong Pemerintah Daerah Kalimantan Timur (Pemda Kaltim) untuk memperbaiki sektor tata niaga sarang burung walet (SBW). Hal ini dilakukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat memberikan dampak optimal terhadap penerimaan negara maupun daerah. Dalam hal ini, KPK meminta Pemda Kaltim untuk mengoptimalkan sektor tata niaga SBW agar dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga menjadi sumber penerimaan yang signifikan bagi negara dan daerah. Oleh karena itu, perbaikan di sektor SBW harus dilakukan agar dapat meminimalisir tindakan korupsi di dalamnya.



Menurut Wakil Ketua KPK, Nawawi Pamolango, setelah melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan di daerah, KPK masih menemukan potensi risiko terjadinya kerugian keuangan daerah. Hal ini terutama terjadi pada sektor penerimaan asli daerah dari pajak sarang burung walet senilai Rp564 miliar. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Nawawi Pamolango saat berada di Balikpapan pada hari Rabu. Meski demikian, KPK tetap berkomitmen untuk melakukan tindakan pencegahan dan penindakan untuk mengatasi masalah tersebut.

Nawawi mengungkapkan pandangannya dalam acara FGD Tata Niaga Sarang Burung Walet (SBW) yang diselenggarakan dengan tema "Sinergi Antara Instansi dalam Penyelesaian Masalah Tata Niaga SBW untuk Optimalisasi Penerimaan Pajak". Acara tersebut berlangsung di Hotel Novotel Balikpapan.

Baca Juga: Instalasi Gedung Walet Kalimantan Timur

Menurut penjelasan Nawawi, risiko keuangan pada tingkat daerah dapat dihitung dengan mengukur selisih antara realisasi penerimaan pajak SBW tahun 2020 dengan estimasi penerimaan pajak SBW tahun yang sama. Berdasarkan data dari DJPK Kemenkeu, selisih tersebut senilai Rp12,8 miliar. Namun, jika kita merujuk pada data IQFAST dengan asumsi volume ekspor sebanyak 1.155 ton dan harga rata-rata Rp5 juta/kilogram, maka estimasi penerimaan pajak SBW seharusnya mencapai Rp577,5 miliar. Artinya, terdapat potensi kerugian keuangan yang signifikan pada daerah tersebut.

Tidak hanya itu, KPK juga membongkar beberapa permasalahan dalam tata niaga Sarang Burung Walet (SBW) di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Diantaranya adalah adanya pengenaan pajak yang diberlakukan pada pelaku usaha yang masih belum memiliki izin untuk beroperasi. Ini menjadi salah satu catatan penting dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor pengusahaan batu bara yang harus segera ditindaklanjuti.

Terdapat tiga hal yang dapat menghambat suatu usaha, diantaranya adalah lokasi usaha yang tidak memenuhi peraturan daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Selain itu, masalah lainnya adalah kurangnya ketepatan dalam pengumpulan dan penyampaian data produksi yang menyebabkan data yang disampaikan menjadi tidak valid. Satu lagi faktor yang dapat menghambat usaha adalah kurangnya pemahaman tentang regulasi yang berkaitan dengan RDTR sehingga lokasi usaha yang dipilih menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan berpotensi untuk dihentikan oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu, perlu adanya kehati-hatian dan pemahaman yang jelas dalam memilih lokasi usaha dan juga menjaga akurasi dan validitas data produksi yang disampaikan.

Ada tujuh faktor yang memperburuk situasi para petani dalam bertransaksi produk SBW. Pertama, adanya ketidaktransparanan informasi tentang kondisi pasar. Kedua, tekanan yang dirasakan para Petani Walet. Ketiga, kurangnya akses ke pasar yang berimbas pada keterbatasan daya tawar para petani. Keempat, kesulitan dalam melacak produk SBW yang dihasilkan. Kelima, peraturan pajak yang kurang jelas dan sulit dipahami. Keenam, tarif pajak yang terlalu tinggi bagi para pelaku usaha kecil dan menengah. Terakhir, rendahnya ketaatan pelaku usaha dalam menunaikan kewajiban pajaknya. Kondisi ini perlu segera diatasi agar para petani dapat memperoleh keuntungan yang adil dan merata di pasaran.



Di sisi lain, ada sengketa yang terus terjadi mengenai kewenangan antara pemerintah daerah dan balai karantina dalam proses pembebasan produk hewan yang keluar dari wilayah Kalimantan Timur. Masalah lain yang dihadapi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara memberikan layanan karantina yang baik dan memenuhi kewajiban perpajakan. Demikianlah yang diungkapkan.

Saat acara tersebut berlangsung, Max Darmawan selaku Kepala Kanwil DJP Kaltim dan Kaltara menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima informasi tentang data SBW tahun 2020 hingga Juli 2022 yang berasal dari tiga instansi, yakni Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas I Balikpapan, BKP Kelas II Tarakan, dan Stasiun Karantina Pertanian (SKP) Kelas I Samarinda. Tidak hanya itu, terdapat beberapa hal lain yang juga disampaikan dalam kesempatan tersebut.

Jumlah seluruh komoditi di wilayah SBW pada rentang waktu 2020 hingga Juli 2022 mencapai 703 ribu kilogram. Dalam perhitungan harga rata-rata per kilogramnya yang berkisar antara Rp9.000 hingga Rp10 juta, didapatkan estimasi potensi omzet sebesar Rp7 triliun. Jika dikenakan tarif pajak tertinggi sebesar 10% dari nilai jual, maka potensi penerimaan daerah dari pajak Sarang dan Gedung Walet dapat mencapai Rp701 miliar. Namun, dengan menggali potensi pada data 2020 dan melihat hasil dari 12 wajib pajak, penerimaan pajak yang tercatat hanya sebesar Rp2,5 miliar.

Baca Juga: Pemikat Walet Untuk Gedung Walet di Kalimantan Timur

Berdasarkan laporan IQFAST Badan Karantina Pertanian (Barantan), selama masa pandemi COVID-19, terjadi peningkatan jumlah Ekspor Sarang Walet sebesar 1.155 ton dengan nilai sebesar Rp 28,9 triliun. Hal ini mengalami peningkatan sebesar 2,13% dibandingkan prestasi yang dicapai pada tahun 2019, dimana ekspor hanya mencapai 1.131,2 ton senilai Rp 28,3 triliun. Dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat pandemi COVID-19, jumlah ekspor SBW tetap meningkat secara signifikan serta memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

Menurut laporan Kemendagri, ada peningkatan ekspor SBW Indonesia dari tahun 2020 ke tahun 2021 dengan nilai mencapai 540,4 juta Dolar Amerika, atau mengalami kenaikan sebesar 48,5 persen YoY. Bahkan, pada rentang Januari-Februari 2021, nilai ekspor SBW Indonesia meningkat menjadi USD 101,47 juta Dolar Amerika, yang menunjukkan pertumbuhan sebesar 51,29 persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah mampu meningkatkan volume dan nilai ekspor SBW-nya selama kurun waktu tersebut. Akan tetapi, data mengenai penerimaan daerah dalam laporan faktual menunjukkan hasil yang berbeda, yakni mengalami penurunan secara signifikan.

Saat ini, tantangan yang dihadapi adalah kurangnya data mengenai keberadaan bisnis yang beroperasi secara ilegal. Kami telah melakukan identifikasi dan pengamatan nyata melalui survei dan investigasi lapangan, namun saatnya untuk merumuskan rencana tindakan yang jelas. Dengan hanya beberapa bisnis ilegal yang terdaftar, kami mendorong untuk membuat database referensi penarikan pajak yang dapat diakses oleh semua pihak terkait. Hal ini diharapkan dapat memudahkan proses pengawasan terhadap keberadaan bisnis-bisnis yang beroperasi secara ilegal dan memperkuat prosedur penarikan pajak yang masih perlu ditingkatkan. Dengan demikian, langkah ini diharapkan mampu mendorong peningkatan perekonomian melalui pengelolaan bisnis yang lebih teratur dan efektif.

Comments